Friday 26 April 2013




Dalam Pasal 1 angka 43 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan PAUD adalah suatu upaya untuk pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangn jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dan memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Ada beberapa alasan mengapa PAUD dianggap sebagai sesuatu hal yang penting dalam mewujudkan pondasi pendidikan bagi bangsa ini. Pertama, PAUD merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh (karakter, budi pekerti luhur, pandai dan terampil). Kedua, di tahun pertama kehidupan anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan hal ini bertalian dengan perkembangan otak anak. Dengan kedua hal tersebut anak sepertinya harus dipersiapkan sejak dini.
Namun dilain hal, dilema “perkembangan PAUD di Indonesia” terkait dengan urgensi PAUD ini bertolak dari sejarah di mana tahun 2005 UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi PAUD terendah di ASEAN, baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Dan kesemunya ini semakin tampak dengan Human Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut. Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara yang terdiskripsikan dalam HDI.



Ada beberapa faktor (selain faktor ekonomi) yang meyebabkan dilema perkembangan PAUD yang terjadi di indonesia dewasa ini, di antaranya :
  1. Tamatan S1 semua Pendidikan PAUD sejumlah 359 ribu orang (sumber data dari Ditjen PMPTK) merupakan jumlah yang tidak seimbang  untuk dapat melayani 28 juta orang anak usia dini.
  2. Sebagian besarnya pengajar PAUD merupakan lulusan dari SMP dan SMA, hanya sebagian kecil S1 (jika kualifikasi pengajar PAUD diperhitungkan juga)
  3. Kecilnya insentif yang diberikan kepada Pendidik PAUD (bahkan dibeberapa wilayah ada yang dibayar dengan menukarkan dengan beras, sayur mayur, dsb)
  4. Pembangunan kompetensi SDM dari Pendidik PAUD sebagai ujung tombak pengajar bagi anak-anak kita yang belum memenuhi kualifikasi.
  5. Aspek keibuan secara mental seorang pendidik PAUD, mereka pada dasarnya mereka belum mengerti aspek kejiwaan seorang anak secara kejiwaan karena mereka tidak mengandung atau mengerti rasanya mempunyai seorang anak.

Disamping itu juga banyak Metode pengajaran yang dapat diterapkan pada PAUD (seperti metode Demonstratif, sosiodrama, eksperimen, dll) namun ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik, jika tenaga pendidik PAUD tidak memahami akan teknik-teknik pengajarannya atau cara menyampaikannya sesuai makna dari metode pembelajaran itu sendiri. 


Sumber :

http://www.sby.dnet.net.id/dnews/mei-2011/article-dilema-perkembangan-paud-di-indonesia-50.html